BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim,
Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat
Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di
dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Mushaf
Alquran yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan
panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam
dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu
jaminan atas keotentikan Alquran langsung diberikan oleh Allah SWT yang
termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9:
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Alquran), dan
kamilah yang akan menjaganya" Makalah ini akan menguraikan tentang
sejarah kodifikasi Alquran dari masa Rasulullah hingga masa khalifah Utsman bin
Affan, serta penambahan tanda baca Alquran yang banyak dilakukan setelah masa
Utsman bin Affan.
Usaha pengumpulan dan kodifikasi Alquran telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Alquran dimulai pada masa khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Alquran kemudian diseragamkan tulisan dan bacaannya demi menghindari beberapa hal. Korpus yang diseragamkan inilah yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani kemudian diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa perbedaan tentang urutan ayat maupun surah seperti yang dicantumkan dalam mushaf Utsmani, hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para penghapal Alquran dan karena turunnya Alquran memang tidak berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf Utsmani[1].
Usaha pengumpulan dan kodifikasi Alquran telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Alquran dimulai pada masa khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Alquran kemudian diseragamkan tulisan dan bacaannya demi menghindari beberapa hal. Korpus yang diseragamkan inilah yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani kemudian diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa perbedaan tentang urutan ayat maupun surah seperti yang dicantumkan dalam mushaf Utsmani, hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para penghapal Alquran dan karena turunnya Alquran memang tidak berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf Utsmani[1].
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Kodifikasi atau Jam’ul
Al-Qur’an?
2.
Bagaimana Pemeliharaan
dan Pengumpulan Al-Qur’an Hingga Dibukukan?
3.
Bagaimana Sejarah Kodifkasi Al-Qur’an?
C.
Tujuan
1. Agar kita mengetahui apa itu Kodifikasi
atau Jam’ul Al-Qur’an.
2. Agar kita mengetahui Pemeliharaan dan Pengumpulan Al-Qur’an Hingga
Dibukukan.
3. Agar kita mengetahui Sejarah
Kodifkasi Al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kodifikasi atau Jam’ul
Al-Qur’an
Istilah jam’ul biasa di terjemahkan
kedalam bahasa indonesia dengan pengumpulan al-qur’an. Namun, pengertiannya
diperselisihkan para ulama. Misalnya Ibn Hajar, membatasi penegertainya pada
pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat pada kepingan batu dan pelepah
kurma atau bahan lainnya kedalam shuhuf-shuhuf yang dilakukan oleh Zaid bin
Tsabit pada masa abu bakar serta
pengumpulan shuhuf-shuhuf tersebut dalam satu mushaf yang dilakukan pad masa
khalifah utsman[2].
Yang dimaksud dengan pengumpulan AL-Qur’an (Jam’ul
Al-Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut :
Pertama : pengumpulan dalam arti hiffzuhu (menghafalnya dari hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazu (penghafal-penghafalnya, orang
yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman
Allah kepada Nabi, Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya
untuk memebaca Al-Qur’an ketikaAl-Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril
selesai membacakannya, karena ingin menhafalnya.
Allah berfirman dalam surat Al-Qiyamah 16-19 :
w õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 @yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ o ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur o #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè%O §NèO ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmtR$ut/O
“ janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran
karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya[1532]. Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
[1532]
Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril
a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar
dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang
diturunkan itu.”
Kedua
: pengumpulan
dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan
Al-Qur’an semuanya) baik dalam memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya,
atau mnertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah di tulis dalam satulembaran
secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam
lembaran-lembaran yang terkeumpul yang menhimpun semua surah, sebagiannya
ditulis sesudah baigain yang lain[3].
B. Pemeliharaan
dan Pengumpulan Al-Qur’an Hingga Dibukukan.
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu
kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat
Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya,
selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[1][6] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an) tersebut
juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau
lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an
hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat
yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga
kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak
terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya
tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan
menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai
dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya
pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan
Nabi.[2][7]
Penguatan dokumen ayat-ayat
Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan Naskah-naskah yang dituliskan untuk
Nabi atas Perintah Nabi, Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai
menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta Hafalan dari mereka yang
hafal Al-Qur’an.[3][8]
Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh
Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh
mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yag telah diturunkan. Nabi sendiri sering
mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu
disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan
membetulkan bacaan mereka jika ada yang salah.[4][9]
Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup
ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan
wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan,
disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh
Allah kepada Muhammad,[5][10] yaitu:
1.
Riqa,
atau lembaran lontar atau perkamen;
2.
Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang
terbelah secara horizontal lantaran panas;
3.
‘Asib,
atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung
dahan pohon kurma yang tipis;
4.
Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5.
Adlla’
atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari
tulang rusuk unta;
6.
Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang
asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.
Melalui data tertulis pada
media seperti di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf
seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak
versi yang hampir susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara
umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan
Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan
secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah
mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf
tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn
Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud,
Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti
Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu
Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf
Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi
mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara
mushaf-mushaf tersebut adalah Mushaf
Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid,
Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf
Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf
Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[6][11]
Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang
memiliki mushaf ternyata selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah
bacaan yang berbeda begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah
satu contoh perbedaan mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim
mendaftar jumlah seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang
ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat
al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi
keenam surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada
dalam daftar al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang
disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat.
Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam
surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan
3 surat yang tidak ada dalam al-Itqan.[7][12] Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik
Adnan Amal yang secara rinci
memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan
mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang
ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai
195.
Lantaran keadaan yang berbeda
berdasarkan latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang
menyebabkan dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan
Mushaf. Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya
sahabat-sahabat penghafal yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari
persoalan tersebut, Umar bin Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu
Bakar. Meskipun pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga
pada masa itu dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Al-Qur’an yang telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan
Khalifah Utsman bin Affan.
C.
Sejarah Kodifkasi Al-Qur’an
1. Pada Masa Rasulallah
Pengumpulan Alquran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama
: al Jam'u fis Sudur
Para sahabat langsung
menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu.[1][4] Hal ini bisa dilakukan oleh mereka
dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast
(peninggalan nenek moyang
mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka
sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam'u fis
Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun
yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun
selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya
kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya
sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir
akan bercampur dengan Alquran. Rasul SAW bersabda "Janganlah kalian
menulis sesuatu dariku kecuali Alquran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku
selain Alquran maka hendaklah ia menghapusnya
Biasanya sahabat
menuliskan Alquran pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa'
(kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang),
al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Alquran waktu
itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Alquran
telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij
(dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia
berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis
Alquran (mengumpulkan) pada kulit binatang ".
Dari kebiasaan
menulis Alquran ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang
dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah:
Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan
Salin bin Ma'qal. Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah
terjadi penulisan Alquran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa
tulisan Alquran ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah
kalian membawa catatan Alquran kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman
(khawatir) apabila catatan Alquran tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk
islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus
sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama
Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Alquran
kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi
sebab ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam. Sepanjang hidup
Rasulullah s.a.w Alquran selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena
Alquran diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
2. Pada
Masa Abu Bakar Asyidik
Sepeninggal
Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip)
Alquran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam'ul Quran[1][5]
yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Alquran yang susunan
surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi
tartibin nuzul).
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi
pengumpulan naskah-naskah Alquran yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar
yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: " Suatu ketika
Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah ,
ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap
kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat
banyak khususnya dari kalangan para penghafal Alquran, aku khawatir kejadian
serupa akan menimpa para penghafal Alquran di beberapa tempat sehingga suatu
saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Alquran, menurutku sudah saatnya
engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Alquran, lalu aku
berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ?" Umar menjawab: "Demi
Allah, ini adalah sebuah kebaikan".
Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku
untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan
usul umar untuk mengumpulkan Alquran. Zaid berkata: Abu bakar berkata
kepadaku : "engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami
tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Alquran) untuk Rasulullah
s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Alquran lalu kumpulkanlah menjadi
sebuah mushaf". Zaid berkata : " Demi Allah, andaikata mereka
memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat
dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Alquran. Kemudian aku
teliti Alquran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan
hafalan para sahabat yang lain".
Kemudian
Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa
tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh
khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan
oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti
Umar r.a.
Semua sahabat sepakat untuk
memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh
Abu bakar berupa mengumpulkan Alquran menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para
sahabat membantu meneliti naskah-naskah Alquran dan menulisnya kembali. Sahabat
Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan
mengatakan : " Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar,
semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan
Alquran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Alquran
sebagai Mushaf).
Menurut riwayat
yang lain orang yang pertama kali menyebut Alquran sebagai Mushaf adalah
sahabat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami
menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Alquran yang
dikumpulkan dan di bundel sebagai MUSHAF" dari perkataan salim inilah Abu
bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Alquran yang telah
dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam
Alquran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah
satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul
utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Alquran)".
3. Pada Masa Umar bin Khatab.
Tidak ada perkembangan yang signifikan
terkait dengan kodifikasi Alquran yang dilakukan oleh khalifah kedua ini selain
melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah pertama yaitu mengemban misi
untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu
Alquran pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan
mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitaes ke-Alquranan-nya bisa
dipertanggung jawabkan Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith
dan Abu Darda'.
4. Pada Masa Untsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan
terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat
islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja ('Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki
dampak positif dan negatif. Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca
Alquran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap
dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai
panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman. Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa
suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah
Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan
(dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas
realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Alquran yang mengarah
kepada perselisihan. Ia berkata : "wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih
gara-gara bacaan Alquran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih
sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".
Lalu Usman meminta Hafsah
meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah
dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat
diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman
bin al-Haris dan lain-lain.[1][6] Kodifikasi dan
penyalinan kembali Mushaf Alquran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan
apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku
Quraisy karena Alquran diturunkan dengan gaya bahasa mereka.[1][7] Setelah panitia selesai menyalin
mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk
membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Alquran selain Mushaf hasil
salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil
salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam
dan Yaman. Usman
menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal
sebagai Mushaf al-Imam. Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan
Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manual
pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah
pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Alquran. Adapun Tulisan
yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah
berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath
(titik sebagai pembeda huruf).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Sebagai catatan penutup tentang sejarah
penumpulan atau kodifikasi al-Qur’an ini, poin penting sebagai jawaban atas
permasalahan (Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:
1.
Istilah
jam’ul biasa di terjemahkan kedalam bahasa indonesia dengan pengumpulan
al-qur’an.
Pengumpulan
AL-Qur’an (Jam’ul Al-Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua
pengertian berikut :
Pertama : pengumpulan dalam arti hiffzuhu (menghafalnya dari hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazu (penghafal-penghafalnya, orang
yang menghafalkannya di dalam hati).
Kedua
: pengumpulan
dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan
Al-Qur’an semuanya) baik dalam memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya,
atau mnertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah di tulis dalam satulembaran
secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam
lembaran-lembaran yang terkeumpul yang menhimpun semua surah, sebagiannya
ditulis sesudah baigain yang lain[3].
2.
Pengkodifikasian dan penulisan
Alquran pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan, serta catatan
yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan,
juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada
masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya,
pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan
oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang
melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.
3.
Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran
pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan
untuk meredam berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.
B. Kritik dan Saran
Kita sebagai umat Islam seharusnnya lebih giat untuk membaca dan
mengamalkan isi ajaran yang terkandung didalam Al-Qur’an. Sebagaimana para
sahabat nabi yang telah berupaya mengumpulkan, menuliskan, serta merapihkan
susunan isi Al-Qur’an namun tidak merubah satu kata pun isi ketika awal turun
kepada Nabi Muhammad SAW.
Apalagi sampai kita belajar lebih
dalam lagi untuk mempelajarinya. Karena sekarang sudah ada studi yang khusus
mempelajari Al-Qur’an yaitu Ulumul Qur’an (Ilmu Al-Qur’an).
Demikianlah
Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup.
Bahwa
pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis
ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang
sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata
kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam
serta teman-teman peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini
dengan serius, terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang
disajikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar